Abstraksi
Oleh: Muhammad Syamhadi
Tercatat dalam sejarah, bahwa ijtihad pernah mengalami puncak kebebasannya, tepatnya mulai setelah wafatnya Nabi sampai pada masa awal Daulah Abbasiyah, sehingga masa itu lahirlah ilmuan-ilmuan besar dan para mujtahid yang hebat seperti ulama'- ulama' madzhab. Namun pada masa setelah ini dunia ijtihad sempat mngalami stagnasi, sebab kaum muslimin disamping mengingat keterbatasan pegetahuan yang dimiliki mereka, juga beranggapan bahwa dalam memecahkan problematika hidup yang dihadapi cukup dengan ber-taqlid pada pendapat-pendapat ulama'-ulama' yang mendahului mereka. Dan dengan berkembangnya tradisi taqlid ini Islam mengalami masa keterpurukan yang berarti. Namun setelah itu bangkitlah kaum rasionalis yang menentang tradisi taqlid yang dianggap sebagai faktor kemunduran Islam dengan menggembor-gemborkan bahwa ijtihad adalah solusi terbaik. Berdasarkan ini berarti ijtihad pernah mengalami pasang surut sehingga hukum ijtihad dan taqlid menjadi perdebatan antara kaum yang memihak ijtihad dan kaum yang memihak taqlid. Perdebatan seperti ini juga terjadi di Indonesia.
Penelitian ini berkesimpulan bahwa hukum ijtihad dalam prespektif Nahdlatul Ulama adalah diperbolehkan bagi yang mampu, sedangkan taqlid adalah wajib bagi yang belum mampu.
Adapun hukum ijtihad dalam perspektif Muhammadiyah adalah wajib bagi yang mampu, sedangkan bagi yang belum mampu maka wajib berittiba’ pada putusan tarjih dan taqlid adalah haram.
"Ingin tau lebih lengkap?? Kirimkan pemesanan lewat email rouftracal@yahoo.com"
0 komentar:
Posting Komentar